HOME

Jumat, 12 Juli 2013

Pertanyaan:
Bagaimanakah posisi duduk pada Tasyahhud Akhir? Apakah Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri)? Atau duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai)?
Jawaban:
Ulama tidak sepakat dalam masalah ini:
Menurut Mazhab Hanafi:
Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir sama-sama duduk Iftirasy.
Menurut Mazhab Maliki:
Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir sama-sama duduk Tawarruk.
Menurut Mazhab Syafi’i:
Tasyahhud Awal duduk Iftirasy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk.
Tasyahhud Akhir pada shalat shubuh juga duduk Tawarruk, karena duduk terakhir.
Mazhab Hanbali:
Tasyahhud Awal duduk Iftirasy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk.
Pada shalat hanya dua rakaat, maka Tasyahhud Akhir duduk Iftirasy.
Selengkapnya :
صفة الجلوس للتشهد الأخير عند الحنفية، كصفة الجلوس بين السجدتين، يكون مفترشاً كما وصفنا، سواء أكان آخر صلاته أم لم يكن، بدليل حديث أبي حميد الساعدي في صفة صلاة رسول الله صلّى الله عليه وسلم «أن النبي صلّى الله عليه وسلم جلس ـ يعني للتشهد ـ فافترش رجله اليسرى، وأقبل بصدر اليمنى على قبلته» (رواه البخاري، وهو حديث صحيح حسن (نيل الأوطار: 2/275) وقال وائل بن حجر: «قدمت المدينة، لأنظرن إلى صلاة رسول ا لله صلّى الله عليه وسلم ، فلما جلس ـ يعني للتشهد ـ افترش رجله اليسرى، ووضع يده اليسرى على فخذه اليسرى، ونصب رجله اليمنى» (أخرجه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح (نصب الراية: 1/419، نيل الأوطار: 2/273)
وقال المالكية: يجلس متوركاً في التشهد الأول والأخير (الشرح الصغير: 1/329 ومابعدها) ، لما روى ابن مسعود «أن النبي صلّى الله عليه وسلم كان يجلس في وسط الصلاة وآخرها متوركاً» (المغني: 1/533) .
وقال الحنابلة والشافعية: يسن التورك في التشهد الأخير، وهو كالافتراش، ولكن يخرج يسراه من جهة يمينه ويلصق وركه بالأرض، بدليل ما جاء في حديث أبي حميد الساعدي: «حتى إذا كانت الركعة التي تنقضي فيها صلاته، أخرَّ رجله اليسرى، وقعد على شقه متوركاً، ثم سلَّم» (رواه الخمسة إلا النسائي، وصححه الترمذي، ورواه البخاري مختصراً (نيل الأوطار: 2/184) والتورك في الصلاة: القعود على الورك اليسرى، والوركان: فوق الفخذين كالكعبين فوق العضدين. لكن قال الحنابلة: لا يتورك في تشهد الصبح؛ لأنه ليس بتشهدٍ ثانٍ، والذي تورك فيه النبي بحديث أبي حميد هو التشهد الثاني للفرق بين التشهدين، وما ليس فيه إلا تشهد واحد لا اشتباه فيه، فلاحاجة إلى الفرق.
والخلاصة: إن التورك في التشهد الثاني سنة عند الجمهور، وليس بسنة عند الحنفية. 
Mazhab Hanafi:
Bentuk duduk Tasyahhud Akhir menurut Mazhab Hanafi seperti bentuk duduk antara dua sujud, duduk Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri), apakah pada Tasyahhud Awal atau pun pada Tasyahhud Akhir. Berdasarkan dalil hadits Abu Humaid as-Sa’idi dalam sifat Shalat Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam: “Sesungguhnya Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk –maksudnya duduk Tasyahhud-, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di atas telapak kaki kiri, ujung kaki kanan ke arah kiblat”. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari, hadits shahih hasan (Nail al-Authar: 2/275). Wa’il bin Hujr berkata: “Saya sampai di Madinah untuk melihat Rasulullah Saw, ketika beliau duduk –maksudnya adalah duduk Tasyahhud- Rasulullah Saw duduk di atas telapak kaki kiri, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam menegakkan (telapak) kaki kanan”. (Hadits riwayat at-Tirmidzi, ia berkata: “Hadits hasan shahih”. (Nashb ar-Rayah: 1/419) dan Nail al-Authar: 2/273).

Menurut Mazhab Maliki:
Duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Awal dan Akhir.  (Asy-Syarh ash-Shaghir: 1/329 dan setelahnya). Berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di tengah shalat dan di akhir shalat dengan duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai). (al-Mughni: 1/533).

Menurut Mazhab Hanbali dan Syafi’i:
Disunnatkan duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Akhir, seperti Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri), akan tetapi dengan mengeluarkan kaki kiri ke arah kanan dan pantat menempel ke lantai. Berdasarkan dalil hadits Abu Humaid as-Sa’idi: “Hingga ketika pada rakaat ia menyelesaikan shalatnya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam memundurkan kaki kirinya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di atas sisi kirinya dengan pantat menempel ke lantai, kemudian Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam”. (diriwayatkan oleh lima Imam kecuali an-Nasa’i. Dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi. Diriwayatkan al-Bukhari secara ringkas. (Nail al-Authar: 2/184). Duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai) dalam shalat adalah: duduk dengan sisi pantat kiri menempel ke lantai. Makna al-Warikan adalah: bagian pangkal paha, seperti dua mata kaki di atas dua otot.
Pendapat Mazhab Hanbali:
Akan tetapi tidak duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada duduk Tasyahhud pada shalat Shubuh, karena itu bukan Tasyahhud Kedua. Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk Tawarruk berdasarkan hadits Abu Humaid adalah pada Tasyahhud Kedua, untuk membedakan antara dua Tasyahhud. Adapun shalat yang hanya memiliki satu Tasyahhud, maka tidak ada kesamaran di dalamnya, maka tidak perlu perbedaan.
Kesimpulan: duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Kedua adalah Sunnat menurut jumhur ulama, tidak sunnat menurut Mazhab Hanafi.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaili: juz.2, hal.44).
فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .
Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, beliau duduk di atas tempat duduknya.
(Hadits riwayat Imam al-Bukhari).
قَوْلُهُ : ( وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَة الْآخِرَة إِلَخْ )
فِي رِوَايَة عَبْد الْحَمِيد " حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَة الَّتِي يَكُون فِيهَا التَّسْلِيم "
وَفِي رِوَايَته عِنْد اِبْن حِبَّان " الَّتِي تَكُون خَاتِمَة الصَّلَاة أَخْرَجَ رِجْله الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقّه الْأَيْسَر "
زَادَ اِبْن إِسْحَاق فِي رِوَايَته " ثُمَّ سَلَّمَ "
وَفِي رِوَايَة عِيسَى عِنْد الطَّحَاوِيّ " فَلَمَّا سَلَّمَ سَلَّمَ عَنْ يَمِينه سَلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَة اللَّه وَعَنْ شِمَاله كَذَلِكَ "
وَفِي رِوَايَة أَبِي عَاصِم عَنْ عَبْد الْحَمِيد عِنْد أَبِي دَاوُدَ وَغَيْره " قَالُوا - أَيْ الصَّحَابَة الْمَذْكُورُونَ - صَدَقْت ، هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي "
 وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ،
وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ،
لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ .
وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ،
 وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ،
 وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ " فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة " ،
وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ .
“Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat terakhir ... dan seterusnya”.
Dalam riwayat ‘Abd al-Hamid: “Hingga ketika pada sujud yang padanya ada salam (sujud terakhir)”.
Dalam riwayat Ibn Hibban: “Yang pada penutup shalat, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengeluarkan kaki kirinya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai) pada sisi kiri”.
Ibnu Ishaq menambahkan pada riwayatnya: “Kemudian Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam”.
Dalam riwayat Isa pada ath-Thahawi: “Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam, pada salam ke kanan beliau mengucapkan: ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullah’. Demikian juga ketika salam ke kiri.
Dalam riwayat Abu ‘Ashim dari ‘Abd al-Hamid pada riwayat Abu Daud dan lainnya: “Mereka –para sahabat  yang disebutkan dalam riwayat- berkata: “Engkau benar, demikianlah Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam melaksanakan shalat”.
Dalam hadits ini terdapat dalil kuat bagi Imam Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya bahwa bentuk duduk pada Tasyahhud Awal berbeda dengan bentuk duduk Tasyahhud Akhir.
Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berbeda dengan ini, menurut mereka: Tidak ada perbedaan antara Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir.
Akan tetapi Mazhab Maliki berkata: Duduk Tawarruk pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir,
Mazhab lain berbeda dengan ini.
Ada yang berpendapat bahwa hikmah adanya perbedaan cara duduk pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir agar tidak terjadi kesamaran pada jumlah rakaat.
Juga karena Tasyahhud Awal diiringi gerakan berikutnya, berbeda dengan Tasyahhud Akhir.
Juga karena orang yang masbuq apabila ia melihat cara duduk tersebut, ia mengetahui berapa rakaat yang tertinggal.
Mazhab Syafi’i juga berdalil bahwa duduk Tasyahhud pada shalat Shubuh seperti duduk Tasyahhud Akhir pada shalat yang lain karena lafaz yang bersifat umum: [فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ] pada rakaat terakhir.
Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad, pendapat yang masyhur darinya bahwa duduk Tawarruk hanya khusus pada shalat yang memiliki dua Tasyahhud (Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir).
(Sumber: Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani).
Dikutip dari : http://somadmorocco.blogspot.com/2013/04/bagaimana-posisi-duduk-tasyahhud-akhir.html

Mimpi Bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam

Ada sebuah Cerita :
 
Ketika di suatu masjid, ada seorang ustadz berkata kepada seseorang yang telah mengaku bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam :
“Jangan bangga dulu bermimpi bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallamlalu berkata, | “Oooh… saya udah ketemu rasul loh.”| Iya, mudah-mudahan memang benar Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam. | Tapi bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa setan tidak bisa menyerupai Nabi Sholallahu `alaihi wasallam? | Ya, haditsnya memang menyebutkan bahwa setan tidak bisa menyerupai Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam. Namun haditsnya tidak menyebutkan bahwa setan tidak bisa mengaku dirinya sebagai Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam atau tidak bisa menunjuk orang lain bahwa orang lain itu adalah Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam. Kalau memang bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam tentunya harus kenal ciri-ciri beliau. Di antara tandanya kalau memang benar bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam di dalam mimpi adalah bertambahlah kerinduannya kepada Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam.”
Begitulah ucapan seseorang yang aku dengar ketika di masjid. Sebenarnya banyak pendapat tentang mimpi bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam ini. Ada yang mengatakan jika orang tersebut mengaku Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam atau ada orang lain yang memberitahunya, maka benarlah itu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam sekalipun ciri fisik orang tersebut tidak sesuai dengan ciri-ciri yang diriwayatkan dalam hadits. Ada juga yang mengatakan jika sudah ada perasaan bahwa itu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam, maka benarlah itu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam sekalipun ciri fisiknya tidak sesuai dengan yang diriwayatkan dalam hadits. Namun ada pendapat yang lebih berhati-hati dalam mengemukakan pendapatnya, yakni jika ada orang yang mengaku atau orang lain yang memberitahu dalam mimpi tersebut, atau di dalam hatinya sudah tertanam (seperti sudah lama kenal) bahwa itu memang benar Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam dan ciri fisiknya sesuai dengan yang diriwayatkan, maka barulah mimpi itu bisa dikatakan benar.
Ada yang berpendapat bahwa jika bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam dalam mimpi, maka itu benar meskipun tidak sesuai dengan ciri Nabi. Sebenarnya yang salah bukan dari Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam (karena memang tidak mungkin salah), namun pandangan mata hati orang tersebutlah yang kurang baik sehingga pandangannya menjadi keliru. Hal ini bisa dianalogikan ketika kita melihat pemandangan yang indah namun kita menggunakan kaca mata yang kotor berdebu, pasti yang kita lihat adalah pemandangan yang tidak sempurna dan kotor. Bukan karena pemandangannya yang tidak indah, tapi pandangan orang tersebut lah yang tidak baik.

Setelah browsing dan membaca pengalaman-pengalaman orang yang sudah pernah bermimpi bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam, banyak orang yang mengaku bermimpi Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam tapi terasa aneh. Jika membaca sejarah dan hadits beliau, hati ini akan berkata jujur, “tidak mungkin Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallamseperti itu”. Jadi apakah mutlak bermimpi Nabi itu adalah benar pasti Nabi? Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin, jika ada yang mengaku bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam dalam mimpi, maka orang tersebut ditanya dulu ciri orang dalam mimpi tersebut. Jika tidak sesuai dengan ciri Nabi, maka mereka mengatakan “Kamu tidak melihatnya (Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam)”.
Saya sendiri lebih milih dalam kehati-hatian. Apalagi kalau mimpinya membawa pesan-pesan Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam. Jika tidak hati-hati, bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat awam. Jika tidak hati-hati, maka orang yang bermimpi tersebut pun juga bisa menjadi ujub, takabbur, sombong, merasa mulia sehingga justru tidak mempunyai kemuliaan di sisi Allah padahal mimpinya juga tidak menjamin benar. Namun jika mimpinya diverifikasi benar, maka benar itu adalah Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam sebagaimana sabda beliau.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam. bersabda: Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak dapat menjelma sepertiku. (Shahih Muslim No.4206)
Dari pendapat-pendapat tadi dan dari cerita pengalaman-pengalaman orang yang sudah pernah bermimpi Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam, ternyata mimpi yang berkaitan dengan bertemu Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallamjuga ada celah untuk salah. Mimpi tersebut adalah benar jika mimpi tersebut sudah diverifikasi kebenarannya sesuai referensi yang ada. Karena ini sudah menyangkut Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam, manusia yang tinggi kedudukannya di sisi Allah, paling dicintai oleh Allah Yang Maha Agung, maka sepatutnya harus lebih sangat berhati-hati lagi dan berusaha untuk sejeli mengkin terhindari dari kesalahan-kesalahan yang mengatasnamakan beliau.

wallahu `alam

dikutip dari : http://akbar08.wordpress.com/2013/02/16/mimpi-bertemu-rasulullah-saw/#comment-333

Kamis, 11 Juli 2013

Posisi Duduk pada Tasyahhud Akhir

Pertanyaan:
Bagaimanakah posisi duduk pada Tasyahhud Akhir? Apakah Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri)? Atau duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai)?
Jawaban:
Ulama tidak sepakat dalam masalah ini:
Menurut Mazhab Hanafi:
Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir sama-sama duduk Iftirasy.
Menurut Mazhab Maliki:
Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir sama-sama duduk Tawarruk.
Menurut Mazhab Syafi’i:
Tasyahhud Awal duduk Iftirasy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk.
Tasyahhud Akhir pada shalat shubuh juga duduk Tawarruk, karena duduk terakhir.
Mazhab Hanbali:
Tasyahhud Awal duduk Iftirasy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk.
Pada shalat hanya dua rakaat, maka Tasyahhud Akhir duduk Iftirasy.
Selengkapnya :
 
صفة الجلوس للتشهد الأخير عند الحنفية، كصفة الجلوس بين السجدتين، يكون مفترشاً كما وصفنا، سواء أكان آخر صلاته أم لم يكن، بدليل حديث أبي حميد الساعدي في صفة صلاة رسول الله صلّى الله عليه وسلم «أن النبي صلّى الله عليه وسلم جلس ـ يعني للتشهد ـ فافترش رجله اليسرى، وأقبل بصدر اليمنى على قبلته» (رواه البخاري، وهو حديث صحيح حسن (نيل الأوطار: 2/275) وقال وائل بن حجر: «قدمت المدينة، لأنظرن إلى صلاة رسول ا لله صلّى الله عليه وسلم ، فلما جلس ـ يعني للتشهد ـ افترش رجله اليسرى، ووضع يده اليسرى على فخذه اليسرى، ونصب رجله اليمنى» (أخرجه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح (نصب الراية: 1/419، نيل الأوطار: 2/273)
وقال المالكية: يجلس متوركاً في التشهد الأول والأخير (الشرح الصغير: 1/329 ومابعدها) ، لما روى ابن مسعود «أن النبي صلّى الله عليه وسلم كان يجلس في وسط الصلاة وآخرها متوركاً» (المغني: 1/533) .
وقال الحنابلة والشافعية: يسن التورك في التشهد الأخير، وهو كالافتراش، ولكن يخرج يسراه من جهة يمينه ويلصق وركه بالأرض، بدليل ما جاء في حديث أبي حميد الساعدي: «حتى إذا كانت الركعة التي تنقضي فيها صلاته، أخرَّ رجله اليسرى، وقعد على شقه متوركاً، ثم سلَّم» (رواه الخمسة إلا النسائي، وصححه الترمذي، ورواه البخاري مختصراً (نيل الأوطار: 2/184) والتورك في الصلاة: القعود على الورك اليسرى، والوركان: فوق الفخذين كالكعبين فوق العضدين. لكن قال الحنابلة: لا يتورك في تشهد الصبح؛ لأنه ليس بتشهدٍ ثانٍ، والذي تورك فيه النبي بحديث أبي حميد هو التشهد الثاني للفرق بين التشهدين، وما ليس فيه إلا تشهد واحد لا اشتباه فيه، فلاحاجة إلى الفرق.
والخلاصة: إن التورك في التشهد الثاني سنة عند الجمهور، وليس بسنة عند الحنفية. 
 
Mazhab Hanafi:
Bentuk duduk Tasyahhud Akhir menurut Mazhab Hanafi seperti bentuk duduk antara dua sujud, duduk Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri), apakah pada Tasyahhud Awal atau pun pada Tasyahhud Akhir. Berdasarkan dalil hadits Abu Humaid as-Sa’idi dalam sifat Shalat Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam: “Sesungguhnya Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk –maksudnya duduk Tasyahhud-, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di atas telapak kaki kiri, ujung kaki kanan ke arah kiblat”. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari, hadits shahih hasan (Nail al-Authar: 2/275). Wa’il bin Hujr berkata: “Saya sampai di Madinah untuk melihat Rasulullah Saw, ketika beliau duduk –maksudnya adalah duduk Tasyahhud- Rasulullah Saw duduk di atas telapak kaki kiri, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam menegakkan (telapak) kaki kanan”. (Hadits riwayat at-Tirmidzi, ia berkata: “Hadits hasan shahih”. (Nashb ar-Rayah: 1/419) dan Nail al-Authar: 2/273).

Menurut Mazhab Maliki:
Duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Awal dan Akhir.  (Asy-Syarh ash-Shaghir: 1/329 dan setelahnya). Berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di tengah shalat dan di akhir shalat dengan duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai). (al-Mughni: 1/533).

Menurut Mazhab Hanbali dan Syafi’i:
Disunnatkan duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Akhir, seperti Iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri), akan tetapi dengan mengeluarkan kaki kiri ke arah kanan dan pantat menempel ke lantai. Berdasarkan dalil hadits Abu Humaid as-Sa’idi: “Hingga ketika pada rakaat ia menyelesaikan shalatnya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam memundurkan kaki kirinya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk di atas sisi kirinya dengan pantat menempel ke lantai, kemudian Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam”. (diriwayatkan oleh lima Imam kecuali an-Nasa’i. Dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi. Diriwayatkan al-Bukhari secara ringkas. (Nail al-Authar: 2/184). Duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai) dalam shalat adalah: duduk dengan sisi pantat kiri menempel ke lantai. Makna al-Warikan adalah: bagian pangkal paha, seperti dua mata kaki di atas dua otot.
Pendapat Mazhab Hanbali:
Akan tetapi tidak duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada duduk Tasyahhud pada shalat Shubuh, karena itu bukan Tasyahhud Kedua. Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk Tawarruk berdasarkan hadits Abu Humaid adalah pada Tasyahhud Kedua, untuk membedakan antara dua Tasyahhud. Adapun shalat yang hanya memiliki satu Tasyahhud, maka tidak ada kesamaran di dalamnya, maka tidak perlu perbedaan.
Kesimpulan: duduk Tawarruk (pantat menempel ke lantai) pada Tasyahhud Kedua adalah Sunnat menurut jumhur ulama, tidak sunnat menurut Mazhab Hanafi.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaili: juz.2, hal.44).
فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .
Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, beliau duduk di atas tempat duduknya.
(Hadits riwayat Imam al-Bukhari).
قَوْلُهُ : ( وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَة الْآخِرَة إِلَخْ )
فِي رِوَايَة عَبْد الْحَمِيد " حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَة الَّتِي يَكُون فِيهَا التَّسْلِيم "
وَفِي رِوَايَته عِنْد اِبْن حِبَّان " الَّتِي تَكُون خَاتِمَة الصَّلَاة أَخْرَجَ رِجْله الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقّه الْأَيْسَر "
زَادَ اِبْن إِسْحَاق فِي رِوَايَته " ثُمَّ سَلَّمَ "
وَفِي رِوَايَة عِيسَى عِنْد الطَّحَاوِيّ " فَلَمَّا سَلَّمَ سَلَّمَ عَنْ يَمِينه سَلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَة اللَّه وَعَنْ شِمَاله كَذَلِكَ "
وَفِي رِوَايَة أَبِي عَاصِم عَنْ عَبْد الْحَمِيد عِنْد أَبِي دَاوُدَ وَغَيْره " قَالُوا - أَيْ الصَّحَابَة الْمَذْكُورُونَ - صَدَقْت ، هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي "
 وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ،
وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ،
لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ .
وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ،
 وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ،
 وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ " فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة " ،
وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ .
 
“Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk pada rakaat terakhir ... dan seterusnya”.
Dalam riwayat ‘Abd al-Hamid: “Hingga ketika pada sujud yang padanya ada salam (sujud terakhir)”.
Dalam riwayat Ibn Hibban: “Yang pada penutup shalat, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengeluarkan kaki kirinya, Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam duduk Tawarruk (menempelkan pantat ke lantai) pada sisi kiri”.
Ibnu Ishaq menambahkan pada riwayatnya: “Kemudian Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam”.
Dalam riwayat Isa pada ath-Thahawi: “Ketika Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam mengucapkan salam, pada salam ke kanan beliau mengucapkan: ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullah’. Demikian juga ketika salam ke kiri.
Dalam riwayat Abu ‘Ashim dari ‘Abd al-Hamid pada riwayat Abu Daud dan lainnya: “Mereka –para sahabat  yang disebutkan dalam riwayat- berkata: “Engkau benar, demikianlah Rasulullah Sholallahu `alaihi wasallam melaksanakan shalat”.
Dalam hadits ini terdapat dalil kuat bagi Imam Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya bahwa bentuk duduk pada Tasyahhud Awal berbeda dengan bentuk duduk Tasyahhud Akhir.
Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi berbeda dengan ini, menurut mereka: Tidak ada perbedaan antara Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir.
Akan tetapi Mazhab Maliki berkata: Duduk Tawarruk pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir,
Mazhab lain berbeda dengan ini.
Ada yang berpendapat bahwa hikmah adanya perbedaan cara duduk pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir agar tidak terjadi kesamaran pada jumlah rakaat.
Juga karena Tasyahhud Awal diiringi gerakan berikutnya, berbeda dengan Tasyahhud Akhir.
Juga karena orang yang masbuq apabila ia melihat cara duduk tersebut, ia mengetahui berapa rakaat yang tertinggal.
Mazhab Syafi’i juga berdalil bahwa duduk Tasyahhud pada shalat Shubuh seperti duduk Tasyahhud Akhir pada shalat yang lain karena lafaz yang bersifat umum: [فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ] pada rakaat terakhir.
Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad, pendapat yang masyhur darinya bahwa duduk Tawarruk hanya khusus pada shalat yang memiliki dua Tasyahhud (Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir).
 
(Sumber: Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani).
 
Dikutip dari : http://somadmorocco.blogspot.com/2013/04/bagaimana-posisi-duduk-tasyahhud-akhir.html

Duduk IFTIRASY atau TAWARRUK?

Pertanyaan:
Jika saya masbuq, ketika imam duduk tasyahud akhir, apakah saya duduk dengan cara iftirasy atau tawarruk?
Jawaban:
Ada tiga pendapat Mazhab Syafi’i:
 
كيفيّة جلوس المسبوق :
9 - قال الشّافعيّة : إذا جلس المسبوق مع الإمام في آخر صلاة الإمام ففيه أقوال :
القول الأوّل : وهو الصّحيح المنصوص في الأمّ , وبه قال أبو حامد والبندنيجيّ والقاضي أبو الطّيّب والغزالي : يجلس المسبوق مُفْتَرِشاً , لأنّه ليس بآخر صلاته .
والثّاني : المسبوق يجلس مُتورِّكاً متابعةً للإمام , حكاه إمام الحرمين والرّافعي .
والثّالث : إنّ كان جلوسه في محلّ التّشهد الأوّل للمسبوق افترش , وإلّا تورّك , لأنّ جلوسه حينئذ لمجرّد المتابعة فيتابع في الهيئة , حكاه الرّافعي .
 
Cara duduk bagi orang yang masbuq.
 
Mazhab Syafi’i berpendapat: apabila orang yang masbuq duduk bersama imam di akhir shalat imam, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Pendapat ash-Shahih yang tertulis secara teks dalam kitab al-Umm (Karya Imam Syafi’i), ini juga pendapat Abu Hamid, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu Thayyib dan al-Ghazali: orang yang masbuq itu duduk Iftirasy (duduk tasyahud awal), karena orang yang masbuq itu tidak berada di akhir shalatnya.
 
Pendapat Kedua: orang yang masbuq itu duduk tawarruk (duduk tasyahud akhir) mengikuti cara duduk imamnya. Pendapat ini diriwayatkan Imam al-Haramain dan Imam ar-Rafi’i.
Pendapat Ketiga: jika duduk itu pada posisi tasyahhud awal bagi si masbuq, maka si masbuq itu duduk iftirasy. Jika bukan pada posisi tasyahud awal, maka si masbuq duduk tawarruk. Karena duduk si masbuq saat itu hanya sekedar duduk mengikuti imam, maka masbuq mengikuti imam dalam bentuk cara duduk imam, demikian diriwayatkan Imam ar-Rafi’i.
 
( sumber : http://somadmorocco.blogspot.com/2013/05/duduk-iftirasy-atau-tawarruk.html?showComment=1373563945875#c4447156551587476986 )
 
 

Hukum Bersalaman Dengan Yang Bukan Mahram

Pertanyaan: 

Adakah hadits tentang hukum bersalaman dengan yang bukan mahram?

Jawaban:

( حسن صحيح )
 وعن معقل بن يسار رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له
 رواه الطبراني والبيهقي ورجال الطبراني ثقات رجال الصحيح
Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata: Rasulullah Shalallahu `alaihi wasallam  bersabda: “Ditikamkan ke kepada kepala salah seorang kamu dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya, daripada ia menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.

(Hadits riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi. Para periwayat dalam kitab ath-Thabrani adalah para periwayat Tsiqah [terpercaya] dan periwayat shahih).

Status Hadits: Hasan Shahih.
Sumber : http://somadmorocco.blogspot.com/2013/04/bersalaman-dengan-yang-bukan-mahram.html